Pengertian Reputasi dalam Public Relations dan Organisasi
Pengertian Reputasi dalam Public Relations dan Organisasi - Dalam sebuah perusahaan, pengelolaan reputasi merupakan tanggung jawab bersama dan oleh masing-masing pihak, tidak hanya sadar dan percaya terhadap proses pengelolaan reputasi saja akan tetapi adanya berkomitmen serta konsisten guna mewujudkannya. PR merupakan salah satu dari sekian banyak faktor yang dapat memberikan kontribusi terbangunnya sebuah citra dalam membentuk reputasi perusahaan.
Berkenaan dengan tema ini, bagaimana menjalankan PR dalam kontek marketing, sehingga tujuan dan aplikasi ini dapat terwujud?
Di dalam Public Relations sebagai salah satu kegiatan CSR merupakan aktivitas community relations, yang bertujuan untuk menjaga organisasi yang berkelanjutkan dalam jangka panjang, sehingga kegiatannyapun terkandung tujuan untuk kemaslahatan bersama. Karena organisasi bisnis tak hanya berupaya mendapatkan hasil secara financial saja atau mendapatkan keuntungan semata, namun lebih harus mengembangkan sumber daya manusia yang dimilikinya dalam menjalankan serta menjaga kegiatan komunitas yang keberlanjutannya.
Sehingga pendekatan publik relations sangat dibutuhkan system yang strategis dan fundamental guna menciptakan konsep-konsep generik termasuk faktor-faktor pragmatis (bottom-line) yang dapat diukur. Terlebih lagi yang berkaitan dengan pemberian suatu merek (branding). Sehingga strategi yang dikomunikasikan dapat terintegrasi. memerlukan adanya kontrol korporasi seperti kegiatan pengiklanan produk dan jasa berjalan dalam kerangka strategi public relations korporasi guna untuk memastikan adanya koherensi dan konsistensi.
Terlebih hubungan PR dengan marketing sangat panjang dan berkaitan. Ada empat tingkatan aktifitas publik relatios untuk tujuan pemasaran, dimasa pertama untuk organisasi kecil atau organisasi amal yang sampai saat ini jarang menggunakan publik relations professional dari luar atau jasa-jasa pemasaran, sebagaimana diungkapkan oleh Philip Kotler dan Mindak (1978). Kelompok kedua, terutama dari sektor publik yang menggunakan jasa publik relations sementara. Yang ketiga adalah perusahaan manufaktur kecil yang sering menggunakan jasa-jasa pemasaran eksternal atau pramuniaga dari dalam perusahaan sendiri. Kelompok keempat yaitu diperusahaan-perushaan Fortune 500 yang besar, public relations dan pemasaran biasanya adalah dua departemen yang terpisah yang saling melengkapi.
Secara tradisonal yang dapat dimasukan kedalam publik relations salah satunya komunikasi, periklanan and pemasaran, tetapi pada era 1990-an sebuah pendekatan yang lebih substantive pada kegiatan pendidikan dan pelatihan muncul melalui institute of advertisng untuk pengembangan periklanan dan chartered institute of marketing untuk pengembangan pemasaran. Ketika jumlah informasi yang keluar dan diterima organisasi semakin meningkat terlebih dengan dengan dengan keberadaannya internet dewasa ini jauh melebihi apa yang dibutuhkan oleh para ahli strategi khususnya publik relations sehingga butuh adanya system intelejen yang dapat mengakses tidak hanya mengambil data yang relevan sehingga pesan yang disampaikan ke lokasi dapat dianalisis oleh para kelompok yang tepat, walau selalu fokus dalam pencarian penggunaan data komunikasi pemasaran belum tentu bisa terpenuhi didalam kebutuhan kelompok iklan meskipun sangat membantu konsumen dengan mengorbankan stakeholder lainnya.
Karena tingkat kebutuhan akan akses data yang sangat tinggi, system informasi manajemen berusaha mengembangan teknologi baru untuk dapat mengidentifkasi data yang penting, sehingga perlu diadakannya kebutuhan komunikasi jangka panjang dengan konsumen. Dalam hal ini para professional pemasaran harus segera bertindak guna merancang serta menganalisa dan melaporkan data yang sistematis dan memberikan keputusan yang relevan serta mempertahankan goodwill secara tradisional sehingga dapat dilihat salah satu hubungan konsumen yang dalam aktiftas publik relations.
baca juga: Pengertian dan Contoh Manajemen Isu dalam Public Relations
Reputasi perusahaan merupakan resultan dari pemenuhan terhadap ekspektasi rasional dan ekspektasi emosional masing-masing stakeholder terhadap perusahaan dalam setiap momen interaksinya. Ekspektasi rasional lebih didasarkan atas kinerja atau kualitas dari produk yang dikonsumsi sedangkan ekspektasi emosional lebih didasarkan atas perilaku dan persepsi stakeholder.
Bicara masalah ekspektasi rasional ini menyangkut masalah produk dan layanan (persepsi kualitas produk, inovasi, nilai, keandalan produk atau jasa) dan kinerja finansial (persepsi atas profitabilitas, prospek, dan resiko perusahaan) serta Visi dan Kepemimpinan (seberapa jauh perusahaan menunjukkan visi yang jelas dan kepemimpinan yang kokoh), sedangkan berbicara masalah ekspektasi emosional lebih menyangkut masalah imbauan emosional (sejauhmana perusahaan disukai,diminati dan dihormati), lingkungan kerja (sejauhmana persepsi atas seberapa baik perusahaan dikelola bagaimana bekerjanya dan bagaimana kualitas karyawannya) serta tanggungjawab sosial, (sejauhmana persepsi atas perusahaan sebagai warga negara yang baik yang berkaitan dengan komunitas, karyawan dan lingkungannya).
Reputasi merupakan akumulasi dari corporate image secara lintas kelompok antar stakeholders maupun dalam lintasan waktu (over the time).
Dalam sebuah perusahaan, pengelolaan reputasi merupakan tanggungjawab bersama masing-masing pihak dalam perusahaan, tidak hanya sadar dan percaya terhadap proses pengelolaan reputasi tetapi juga berkomitmen untuk secara konsisten mewujudkannya. Untuk itu diperlukan konsensus antara manajemen dan karyawan dalam tata nilai utama (core value) dan tujuan perusahaan. Sedangkan pencitraan yang dibangun untuk mendapatkan citra kolektif berupa reputasi merupakan fungsi Public relations dalam mengkomunikasikan suatu program kepada publiknya baik internal maupun eksternal.
Secara sepintas, ada empat indikator yang dapat dipakai untuk menaksir seberapa kuat reputasi suatu perusahaan, antara lain :
Reputasi yang kuat dibangun dari tindakan operasional sehari-hari yang konsisten dengan tata nilai perusahaan, tidak cukup satu gebrakan saja. Diperlukan segmentasi dan penentuan skala prioritas untuk membidik khalayak yang secara kritis mempunyai dampak yang tinggi (high impact), misalnya influencer yang dapat mengubah opini. Dan untuk menjembatani antara perusahaan dan khalayaknya dibutuhkan komunikasi yang proaktif dan terencana dengan baik. Sebagai contoh sasaran khalayak dari aktivitas PR/CSR adalah masyarakat atau komunitas setempat, maka dalam programnya harus direncanakan dengan baik dan secara terus menerus selama perusahaan beroperasi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa reputasi merupakan asset penting yang akan terasa sekali manfaatnya antara lain saat perusahaan menghadapi krisis. Adam Joly menyatakan bahwa secara makro kunci dari pengelolaan reputasi adalah behave well . Kelihatannya sederhana tapi dalam praktiknya tidaklah sesederhana itu. Dan Reputasi merupakan kolektif image yang dibangun dalam rentang waktu yang cukup lama secara berkesinambungan dan konsisten.
Reputasi dalam Public Relations
Ada semacam paradoks yang berkembang dalam pengelolaan reputasi, bahwa semakin dibutuhkan, reputasi cenderung semakin sulit untuk dikelola. Yang jelas, kehilangan reputasi yang baik jauh lebih gampang dibanding usaha untuk membangunnya. Sebagian orang menyatakannya dalam metafora, dibutuhkan sepuluh tahun untuk membangun reputasi yang baik, tetapi cukup satu menit saja untuk meruntuhkannya. Mempertahankan reputasi seseorang tidaklah mudah, apalagi mempertahankan reputasi yang baik dari perusahaan.
Adam Joly menyatakan bahwa secara makro kunci dari pengelolaan reputasi adalah: behave well. Kelihatannya sederhana, tapi dalam prakteknya tidaklah sesederhana itu. Mengingat reputasi perusahaan merupakan resultan dari pemenuhan terhadap ekspektasi rasional dan ekspektasi emosional masing-masing stakeholder terhadap perusahaan dalam setiap momen interaksinya.
Ekspektasi rasional seperti kita ketahui bersama lebih didasarkan atas kinerja atau kualitas dari produk yang dikonsumsi sedangkan ekspektasi emosional lebih didasarkan atas perilaku dan persepsi stakeholder. Stakeholder di sini mencakup karyawan, pelanggan, pemasok, pemegang saham, LSM, ataupun pemerintah. Padahal, masing-masing stakeholder memiliki derajat kepentingan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Luasnya cakupan khalayak ini mengakibatkan upaya membangun reputasi membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan membangun citra perusahaan.
Tidak heran jika reputasi perusahaan merupakan aset strategis, karena reputasi dapat meningkatkan value dari perusahaan yang bersangkutan. Dalam artikel A.B. Susanto yang berjudul reputasi dan public relations mengemukakan pengalamannya bahwa selaku konsultan yang juga menggeluti jasa executive search menunjukkan betapa reputasi yang kuat membantu perusahaan tidak hanya dalam menjual produknya dengan harga yang menguntungkan, tetapi juga dalam menarik karyawan berpotensi tinggi untuk bekerja padanya. Perusahaan dengan reputasi yang kuat cenderung menjadi perusahaan idaman dan tambatan bagi profesional yang qualified.
Wajar jika belakangan ini makin banyak perusahaan bergiat dalam mengelola reputasinya. Hanya saja, ada beberapa catatan penulis menyikapi fenomena yang terjadi di lapangan. Ada kecenderungan bahwa perusahaan melihat reputasi perusahaan lebih berdasarkan persepsi internal. Akibatnya, perusahaan terjebak dalam perspektif yang menyesatkan. Lantas, bagaimana cara untuk mengetahui seberapa kuat reputasi perusahaan?
Dalam hal ini yang dapat dilakukan adalah mengukurnya melalui penelitian pasar. Proses ini dapat menunjukkan di posisi apa reputasi perusahaan jika dibandingkan dengan reputasi para pesaing. Selain itu pegukuran reputasi perusahaan juga dapat menunjukkan sektor mana saja yang perlu diprioritaskan dan secara umum berlaku sebagai road map bagi perjalanan proses pengelolaan reputasi itu sendiri.
Beberapa perusahaan melakukan pengukuran reputasi dengan pendekatan media coverage untuk kemudian menterjemahkan isinya ke dalam reputation score cards. Memang opsi ini lebih baik daripada tidak ada action evaluasi sama sekali, walaupun opsi ini bukannya tidak mempunyai kelemahan. Kalau diperhatikan secara lebih seksama akan tampak betapa pendekatan ini lebih fokus kepada merekam outcome dari aktivitas humas di media, sedangkan pengaruhnya terhadap khalayak sasaran luput dari pengukuran.
Secara sepintas, ada empat indikator yang dapat dipakai untuk menaksir seberapa kuat reputasi suatu perusahaan:
Penulis juga mengamati, terutama saat keadaan memaksa perusahaan untuk berubah, tidak sedikit perusahaan dalam mengelola reputasinya hanya dengan perubahan yang sifatnya hanya menyentuh kulit. Perubahan kosmetis seperti penggantian logo semata tidak akan berarti banyak. Pengelolaan reputasi, apalagi bagi perusahaan yang baru saja mengalami krisis, membutuhkan perubahan yang fundamental dalam satu proses yang terintegrasi. Tidak lain, karena reputasi bukanlah sekedar masalah kepercayaan diri tetapi menyangkut jalinan yang didasarkan atas kepercayaan (trust) dan integritas.
Reputasi yang kuat dibangun dari tindakan operasional sehari-hari yang konsisten dengan tata nilai perusahaan, tidak cukup satu gebrakan saja. Diperlukan segmentasi dan penentuan skala prioritas untuk membidik khalayak yang secara kritis mempunyai dampak yang tinggi (high impact), misalnya influencer yang dapat merubah opini.
Untuk menjembatani perusahaan dengan khalayaknya baik dalam masa krisis maupun masa ’damai’ tentu saja dibutuhkan komunikasi yang proaktif dan terencana dengan baik. Pesan yang sesuai dengan budaya komunitas yang disasar harus dibuat sedemikian rupa sehingga lebih dari sekedar dapat diterima tetapi betul-betul menarik, menggugah, dan dapat menjadi ’mantra’. Untuk itu pesan harus dikemas secara unik dan disampaikan secara konsisten kepada khalayak yang tepat. Outreach yang baik dengan melibatkan media berpengaruh jelas sangat penting artinya untuk penyampaian pesan. Demikian halnya dengan program-program yang berkenaan dengan corporate social responsibility dan sponsorship yang sifatnya strategis. Pembentukan citra yang positif dengan iklan juga akan mampu meningkatkan reputasi perusahaan.
Pengelolaan reputasi merupakan tanggung jawab bersama, tidak cukup hanya dibebankan pada bagian PR atau bahkan pimpinan perusahaan semata. Sebaliknya, tanpa dukungan dari manajemen puncak, pengelolaan reputasi cenderung akan berjalan di tempat. Masing-masing pihak dituntut untuk tidak hanya sadar atau percaya terhadap proses pengelolaan reputasi, tetapi juga berkomitmen untuk secara konsisten mewujudkannya. Untuk itu harus ada konsensus antara manajemen dan karyawan dalam tata nilai utama (core values) dan tujuan perusahaan. Meskipun demikian, perlu diorganisasikan dengan jelas antara pengelolaan reputasi perusahaan dan pengelolaan reputasi produk. Masing-masing mempunyai porsi dan penanggung jawab sendiri-sendiri dan diatur sedemikian rupa agar tidak saling berbenturan sehingga tidak kontra produktif.
Pengelolaan reputasi yang efektif tidak bisa dilepaskan dari peran bisnis perusahaan dalam menangkap peluang (ofensif) dan menanggulangi ancaman (defensif). Strategi ofensif bisa diterapkan saat launching produk baru, melakukan akuisisi atau merubah model bisnis. Dengan demikian, reputasi menjadi bagian dari karakter, budaya, dan DNA perusahaan, yang penulis perlu tekankan kembali: harus direfleksikan dalam kegiatan operasional sehari-hari. Tidak boleh dilupakan, karyawanlah yang dalam prakteknya berperan sebagai duta yang akan mempengaruhi reputasi perusahaan.
Sekian artikel tentang Pengertian Reputasi dalam Public Relations dan Organisasi. Semoga bermanfaat.
Daftar Pustaka
Berkenaan dengan tema ini, bagaimana menjalankan PR dalam kontek marketing, sehingga tujuan dan aplikasi ini dapat terwujud?
Di dalam Public Relations sebagai salah satu kegiatan CSR merupakan aktivitas community relations, yang bertujuan untuk menjaga organisasi yang berkelanjutkan dalam jangka panjang, sehingga kegiatannyapun terkandung tujuan untuk kemaslahatan bersama. Karena organisasi bisnis tak hanya berupaya mendapatkan hasil secara financial saja atau mendapatkan keuntungan semata, namun lebih harus mengembangkan sumber daya manusia yang dimilikinya dalam menjalankan serta menjaga kegiatan komunitas yang keberlanjutannya.
Sehingga pendekatan publik relations sangat dibutuhkan system yang strategis dan fundamental guna menciptakan konsep-konsep generik termasuk faktor-faktor pragmatis (bottom-line) yang dapat diukur. Terlebih lagi yang berkaitan dengan pemberian suatu merek (branding). Sehingga strategi yang dikomunikasikan dapat terintegrasi. memerlukan adanya kontrol korporasi seperti kegiatan pengiklanan produk dan jasa berjalan dalam kerangka strategi public relations korporasi guna untuk memastikan adanya koherensi dan konsistensi.
Terlebih hubungan PR dengan marketing sangat panjang dan berkaitan. Ada empat tingkatan aktifitas publik relatios untuk tujuan pemasaran, dimasa pertama untuk organisasi kecil atau organisasi amal yang sampai saat ini jarang menggunakan publik relations professional dari luar atau jasa-jasa pemasaran, sebagaimana diungkapkan oleh Philip Kotler dan Mindak (1978). Kelompok kedua, terutama dari sektor publik yang menggunakan jasa publik relations sementara. Yang ketiga adalah perusahaan manufaktur kecil yang sering menggunakan jasa-jasa pemasaran eksternal atau pramuniaga dari dalam perusahaan sendiri. Kelompok keempat yaitu diperusahaan-perushaan Fortune 500 yang besar, public relations dan pemasaran biasanya adalah dua departemen yang terpisah yang saling melengkapi.
Secara tradisonal yang dapat dimasukan kedalam publik relations salah satunya komunikasi, periklanan and pemasaran, tetapi pada era 1990-an sebuah pendekatan yang lebih substantive pada kegiatan pendidikan dan pelatihan muncul melalui institute of advertisng untuk pengembangan periklanan dan chartered institute of marketing untuk pengembangan pemasaran. Ketika jumlah informasi yang keluar dan diterima organisasi semakin meningkat terlebih dengan dengan dengan keberadaannya internet dewasa ini jauh melebihi apa yang dibutuhkan oleh para ahli strategi khususnya publik relations sehingga butuh adanya system intelejen yang dapat mengakses tidak hanya mengambil data yang relevan sehingga pesan yang disampaikan ke lokasi dapat dianalisis oleh para kelompok yang tepat, walau selalu fokus dalam pencarian penggunaan data komunikasi pemasaran belum tentu bisa terpenuhi didalam kebutuhan kelompok iklan meskipun sangat membantu konsumen dengan mengorbankan stakeholder lainnya.
Karena tingkat kebutuhan akan akses data yang sangat tinggi, system informasi manajemen berusaha mengembangan teknologi baru untuk dapat mengidentifkasi data yang penting, sehingga perlu diadakannya kebutuhan komunikasi jangka panjang dengan konsumen. Dalam hal ini para professional pemasaran harus segera bertindak guna merancang serta menganalisa dan melaporkan data yang sistematis dan memberikan keputusan yang relevan serta mempertahankan goodwill secara tradisional sehingga dapat dilihat salah satu hubungan konsumen yang dalam aktiftas publik relations.
image source: farner.ch |
Reputasi perusahaan merupakan resultan dari pemenuhan terhadap ekspektasi rasional dan ekspektasi emosional masing-masing stakeholder terhadap perusahaan dalam setiap momen interaksinya. Ekspektasi rasional lebih didasarkan atas kinerja atau kualitas dari produk yang dikonsumsi sedangkan ekspektasi emosional lebih didasarkan atas perilaku dan persepsi stakeholder.
Bicara masalah ekspektasi rasional ini menyangkut masalah produk dan layanan (persepsi kualitas produk, inovasi, nilai, keandalan produk atau jasa) dan kinerja finansial (persepsi atas profitabilitas, prospek, dan resiko perusahaan) serta Visi dan Kepemimpinan (seberapa jauh perusahaan menunjukkan visi yang jelas dan kepemimpinan yang kokoh), sedangkan berbicara masalah ekspektasi emosional lebih menyangkut masalah imbauan emosional (sejauhmana perusahaan disukai,diminati dan dihormati), lingkungan kerja (sejauhmana persepsi atas seberapa baik perusahaan dikelola bagaimana bekerjanya dan bagaimana kualitas karyawannya) serta tanggungjawab sosial, (sejauhmana persepsi atas perusahaan sebagai warga negara yang baik yang berkaitan dengan komunitas, karyawan dan lingkungannya).
Reputasi merupakan akumulasi dari corporate image secara lintas kelompok antar stakeholders maupun dalam lintasan waktu (over the time).
Dalam sebuah perusahaan, pengelolaan reputasi merupakan tanggungjawab bersama masing-masing pihak dalam perusahaan, tidak hanya sadar dan percaya terhadap proses pengelolaan reputasi tetapi juga berkomitmen untuk secara konsisten mewujudkannya. Untuk itu diperlukan konsensus antara manajemen dan karyawan dalam tata nilai utama (core value) dan tujuan perusahaan. Sedangkan pencitraan yang dibangun untuk mendapatkan citra kolektif berupa reputasi merupakan fungsi Public relations dalam mengkomunikasikan suatu program kepada publiknya baik internal maupun eksternal.
Secara sepintas, ada empat indikator yang dapat dipakai untuk menaksir seberapa kuat reputasi suatu perusahaan, antara lain :
- Kaya saing perusahaan dalam menjual produk atau jasa layanan dengan harga premium pada kurun waktu yang tidak sebentar;
- Kesanggupan perusahaan dalam merekrut dan mempertahankan staf kunci yang berkualitas;
- Konsistensi perusahaan dalam mendapatkan dukungan words of mouth (WOM) berupa rekomendasi positif baik dari sisi pasokan maupun pemasaran dan
- Keberpihakan publik ketika terjadi masalah, tidak saja dalam kemampuan perusahaan untuk berkelit dari media ataupun kritikan publik.
Reputasi yang kuat dibangun dari tindakan operasional sehari-hari yang konsisten dengan tata nilai perusahaan, tidak cukup satu gebrakan saja. Diperlukan segmentasi dan penentuan skala prioritas untuk membidik khalayak yang secara kritis mempunyai dampak yang tinggi (high impact), misalnya influencer yang dapat mengubah opini. Dan untuk menjembatani antara perusahaan dan khalayaknya dibutuhkan komunikasi yang proaktif dan terencana dengan baik. Sebagai contoh sasaran khalayak dari aktivitas PR/CSR adalah masyarakat atau komunitas setempat, maka dalam programnya harus direncanakan dengan baik dan secara terus menerus selama perusahaan beroperasi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa reputasi merupakan asset penting yang akan terasa sekali manfaatnya antara lain saat perusahaan menghadapi krisis. Adam Joly menyatakan bahwa secara makro kunci dari pengelolaan reputasi adalah behave well . Kelihatannya sederhana tapi dalam praktiknya tidaklah sesederhana itu. Dan Reputasi merupakan kolektif image yang dibangun dalam rentang waktu yang cukup lama secara berkesinambungan dan konsisten.
Reputasi dalam Public Relations
Ada semacam paradoks yang berkembang dalam pengelolaan reputasi, bahwa semakin dibutuhkan, reputasi cenderung semakin sulit untuk dikelola. Yang jelas, kehilangan reputasi yang baik jauh lebih gampang dibanding usaha untuk membangunnya. Sebagian orang menyatakannya dalam metafora, dibutuhkan sepuluh tahun untuk membangun reputasi yang baik, tetapi cukup satu menit saja untuk meruntuhkannya. Mempertahankan reputasi seseorang tidaklah mudah, apalagi mempertahankan reputasi yang baik dari perusahaan.
Adam Joly menyatakan bahwa secara makro kunci dari pengelolaan reputasi adalah: behave well. Kelihatannya sederhana, tapi dalam prakteknya tidaklah sesederhana itu. Mengingat reputasi perusahaan merupakan resultan dari pemenuhan terhadap ekspektasi rasional dan ekspektasi emosional masing-masing stakeholder terhadap perusahaan dalam setiap momen interaksinya.
Ekspektasi rasional seperti kita ketahui bersama lebih didasarkan atas kinerja atau kualitas dari produk yang dikonsumsi sedangkan ekspektasi emosional lebih didasarkan atas perilaku dan persepsi stakeholder. Stakeholder di sini mencakup karyawan, pelanggan, pemasok, pemegang saham, LSM, ataupun pemerintah. Padahal, masing-masing stakeholder memiliki derajat kepentingan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Luasnya cakupan khalayak ini mengakibatkan upaya membangun reputasi membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan membangun citra perusahaan.
Tidak heran jika reputasi perusahaan merupakan aset strategis, karena reputasi dapat meningkatkan value dari perusahaan yang bersangkutan. Dalam artikel A.B. Susanto yang berjudul reputasi dan public relations mengemukakan pengalamannya bahwa selaku konsultan yang juga menggeluti jasa executive search menunjukkan betapa reputasi yang kuat membantu perusahaan tidak hanya dalam menjual produknya dengan harga yang menguntungkan, tetapi juga dalam menarik karyawan berpotensi tinggi untuk bekerja padanya. Perusahaan dengan reputasi yang kuat cenderung menjadi perusahaan idaman dan tambatan bagi profesional yang qualified.
Wajar jika belakangan ini makin banyak perusahaan bergiat dalam mengelola reputasinya. Hanya saja, ada beberapa catatan penulis menyikapi fenomena yang terjadi di lapangan. Ada kecenderungan bahwa perusahaan melihat reputasi perusahaan lebih berdasarkan persepsi internal. Akibatnya, perusahaan terjebak dalam perspektif yang menyesatkan. Lantas, bagaimana cara untuk mengetahui seberapa kuat reputasi perusahaan?
Dalam hal ini yang dapat dilakukan adalah mengukurnya melalui penelitian pasar. Proses ini dapat menunjukkan di posisi apa reputasi perusahaan jika dibandingkan dengan reputasi para pesaing. Selain itu pegukuran reputasi perusahaan juga dapat menunjukkan sektor mana saja yang perlu diprioritaskan dan secara umum berlaku sebagai road map bagi perjalanan proses pengelolaan reputasi itu sendiri.
Beberapa perusahaan melakukan pengukuran reputasi dengan pendekatan media coverage untuk kemudian menterjemahkan isinya ke dalam reputation score cards. Memang opsi ini lebih baik daripada tidak ada action evaluasi sama sekali, walaupun opsi ini bukannya tidak mempunyai kelemahan. Kalau diperhatikan secara lebih seksama akan tampak betapa pendekatan ini lebih fokus kepada merekam outcome dari aktivitas humas di media, sedangkan pengaruhnya terhadap khalayak sasaran luput dari pengukuran.
Secara sepintas, ada empat indikator yang dapat dipakai untuk menaksir seberapa kuat reputasi suatu perusahaan:
- Pertama, daya saing perusahaan dalam menjual produknya dengan harga premium pada kurun waktu yang tidak sebentar.
- Kedua, kesanggupan perusahaan dalam merekrut dan mempertahankan staf kunci yang berkualitas.
- Ketiga, konsistensi perusahaan dalam mendapatkan dukungan words of mouth berupa rekomendasi positif baik dari sisi pasokan maupun pemasaran.
- Keempat, keberpihakan publik ketika terjadi masalah, tidak saja dalam kemampuan perusahaan untuk berkelit dari media ataupun kritikan publik.
Penulis juga mengamati, terutama saat keadaan memaksa perusahaan untuk berubah, tidak sedikit perusahaan dalam mengelola reputasinya hanya dengan perubahan yang sifatnya hanya menyentuh kulit. Perubahan kosmetis seperti penggantian logo semata tidak akan berarti banyak. Pengelolaan reputasi, apalagi bagi perusahaan yang baru saja mengalami krisis, membutuhkan perubahan yang fundamental dalam satu proses yang terintegrasi. Tidak lain, karena reputasi bukanlah sekedar masalah kepercayaan diri tetapi menyangkut jalinan yang didasarkan atas kepercayaan (trust) dan integritas.
Reputasi yang kuat dibangun dari tindakan operasional sehari-hari yang konsisten dengan tata nilai perusahaan, tidak cukup satu gebrakan saja. Diperlukan segmentasi dan penentuan skala prioritas untuk membidik khalayak yang secara kritis mempunyai dampak yang tinggi (high impact), misalnya influencer yang dapat merubah opini.
Untuk menjembatani perusahaan dengan khalayaknya baik dalam masa krisis maupun masa ’damai’ tentu saja dibutuhkan komunikasi yang proaktif dan terencana dengan baik. Pesan yang sesuai dengan budaya komunitas yang disasar harus dibuat sedemikian rupa sehingga lebih dari sekedar dapat diterima tetapi betul-betul menarik, menggugah, dan dapat menjadi ’mantra’. Untuk itu pesan harus dikemas secara unik dan disampaikan secara konsisten kepada khalayak yang tepat. Outreach yang baik dengan melibatkan media berpengaruh jelas sangat penting artinya untuk penyampaian pesan. Demikian halnya dengan program-program yang berkenaan dengan corporate social responsibility dan sponsorship yang sifatnya strategis. Pembentukan citra yang positif dengan iklan juga akan mampu meningkatkan reputasi perusahaan.
Pengelolaan reputasi merupakan tanggung jawab bersama, tidak cukup hanya dibebankan pada bagian PR atau bahkan pimpinan perusahaan semata. Sebaliknya, tanpa dukungan dari manajemen puncak, pengelolaan reputasi cenderung akan berjalan di tempat. Masing-masing pihak dituntut untuk tidak hanya sadar atau percaya terhadap proses pengelolaan reputasi, tetapi juga berkomitmen untuk secara konsisten mewujudkannya. Untuk itu harus ada konsensus antara manajemen dan karyawan dalam tata nilai utama (core values) dan tujuan perusahaan. Meskipun demikian, perlu diorganisasikan dengan jelas antara pengelolaan reputasi perusahaan dan pengelolaan reputasi produk. Masing-masing mempunyai porsi dan penanggung jawab sendiri-sendiri dan diatur sedemikian rupa agar tidak saling berbenturan sehingga tidak kontra produktif.
Pengelolaan reputasi yang efektif tidak bisa dilepaskan dari peran bisnis perusahaan dalam menangkap peluang (ofensif) dan menanggulangi ancaman (defensif). Strategi ofensif bisa diterapkan saat launching produk baru, melakukan akuisisi atau merubah model bisnis. Dengan demikian, reputasi menjadi bagian dari karakter, budaya, dan DNA perusahaan, yang penulis perlu tekankan kembali: harus direfleksikan dalam kegiatan operasional sehari-hari. Tidak boleh dilupakan, karyawanlah yang dalam prakteknya berperan sebagai duta yang akan mempengaruhi reputasi perusahaan.
Sekian artikel tentang Pengertian Reputasi dalam Public Relations dan Organisasi. Semoga bermanfaat.
Daftar Pustaka
- John Doorley, Helio Fred Garcia, Reputation Management: The Key to Successful Public Relations and Corporate Communication, Routledge, 2007.
- Jerry A Hendrix, Public Relations Cases, Wadsworth, 2001.
- Kim Harrison, Strategic Public Relations: A Practical Guide to Succes, second edition, Vineyard Publishing, 2001.
- Sandra M Oliver, Handbook of Corporate Communication and Public Relations: Pure and Applied, Routledge, 2004.
- Soleh Soemirat, dan Elvinaro Ardianto, Dasar-dasar Public Relations.