Pengertian dan Contoh Teori Konstruktivisme Menurut Para Ahli
Pengertian dan Contoh Teori Konstruktivisme Menurut Para Ahli - Dalam pemahaman konstruksi Berger (Bungin: 2001), dalam memahami realitas/peristiwa terjadi dalam tiga tahapan, Berger menyebutnya sebagi moment yaitu, pertama, tahap eksternalisasi yaitu usaha pencurahan diri manusia ke dalam dunia baik mental maupun fisik. Kedua, objektifikasi yaitu hasil dari eksternalisasi yang berupa kenyataan objektif fisik ataupun mental. Ketiga, internalisasi, sebagai proses penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektifitas individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Ketiga proses tersebut saling berdialektika secara terus menerus pada diri individu dalam rangka pemahaman tentang realitas.
Konstruktivisme sebagai suatu pandangan yang lain terhadap dunia, seperti yang diungkapkan oleh Thomas Khun bahwa semesta secara epostimologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan/pandangan manusia dibentuk oleh kemampuan tubuh inderawi dan intelektual asumsi-asumsi kebudayaan dan bahasa tanpa kita sadari. Bahasa dan ilmu pengetahuan bukanlah cerminan semesta, melainkan bahasa membentuk semesta, bahwa setiap bahasa mengkonstruksi aspek-aspek tertentu dari semesta dengan caranya sendiri. Peter Dahlgren mengatakan realitas sosial setidaknya sebagian, adalah produksi manusia, hasil proses budaya, termasuk penggunaan bahasa.
Paradigma ini melihat komunikasi sebagai proses produksi dan pertukaran makna. Karakteristik penting dari pendekatan konstruktivisme ini adalah: Pertama, menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Kedua, memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang terus menerus dan dinamis. Pendekatan konstruktivisme memeriksa pembentukan bagaimana pesan ditampilkan, dan dalam sisi penerima, ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan (Crigler, 1996:8-9).
Asumsi dasar dari pemikiran konstruktivisme adalah: Pertama, suatu kejadian (realitas) tidak hadir dengan sendirinya secara objektif, tetapi diketahui atau dipahami melalui pengalaman. Kedua, realitas dipahami melalui kategori-kategori bahasa secara situasional yang tumbuh dari interaksi sosial di dalam suatu kelompok sosial pada saat dan tempat tertentu. Ketiga, bagaimana suatu realitas dapat dipahami, ditentukan oleh konvensi-konvensi komunikasi yang dilakukan pada saat itu. Keempat, pemahaman terhadap realitas yang tersusun secara sosial membentuk banyak aspek penting lain dari kehidupan (Sasa, 1994:325-326). Hal ini berarti ketika kita berpikir dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, pada dasarnya merupakan persoalan tentang bagaimana kita memahami realitas kita.
baca juga: Pengertian dan Contoh Teori Fenomenologis Menurut Para Ahli
Istilah konstruksi sosial atas realitas diperkenalkan oleh Berger dan Thomas Luckman dalam The SocialConstruction of Reality (1966). Mereka menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, di mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin.2001:10). Konstruktivisme dapat dibagi dalam tiga macam, yakni: Konstruktivisme radikal, konstruktivisme realisme hipotesis, dan konstruktivisme biasa.
Kaum konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran manusia. Mereka mengkesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan, dalam pandangan mere-ka tidak merefleksikan suatu realitas ontologis objektif, namun sebagai sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif. Karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan merupakan sarana terjadinya konstruksi itu.
Sedangkan dalam pandangan realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Berbeda pula dengan konstruktivisme biasa yang mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri. Institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semua dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi (Berger & Luckman, 1990: 61).
Menurut Berger dan Luckman (1990:1 dalam Bungin, 2001 :6) konstruksi sosial adalah pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas sosial menurut keduanya terbentuk secara sosial dan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan (sociology of knowlodge) untuk menganalisa bagaimana proses terjadinya.
Dalam hal ini pemahaman “realitas” dan “pengetahuan” dipisahkan. Mereka mengakui realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai “kualitas” yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar kemauan kita sebab fenomena tersebut tidak bisa ditiadakan, sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari.
Kenyataanya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran seseorang baik di dalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan realitas tersebut secara objektif.
Max Weber melihat realitas sosial sebagai perilaku sosial yang memiliki makna subyektif, karena itu pelaku memiliki tujuan dan motivasi. perilaku sosial itu menjadi "sosial", apabila yang dimaksud subyektif dari perilaku sosial itu membuat individu mengarahkan dan memperhitungkan kelakuan orang lain serta mengarahkannya kepada subyektif itu. Perilaku itu memiliki kepastian kalau menunjukkan keseragaman dengan perilaku pada umumnya dalam masyarakat (Bungin, 2003:5)
Kemudian, Durkheim mengatakan bahwa fakta sosial terdiri dari dua macam, yaitu fakta sosial yang berbentuk material, yaitu hal-hal atau benda yang dapat ditangkap secara indrawi, berupa benda di dalam dunia nyata. Kemudian fakta sosial yang non material, yaitu fakta yang tak tampak namun nyata ada di dunia intersubyektif masyarakat, seperti opini, egoisme dan altruisme (Bungin, 2003:4).
Berger dan Luckmann mengatakan bahwa realitas sosial terdiri dari tiga macam yaitu realitas subyektif, realitas obyektif dan realitas simbolik. Realitas obyektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia obyektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas obyektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subyektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas obyektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses intemalisasi (Bungin, 2003:5)
Konsep realitas sosial di atas, dibantah oleh pandangan teori konflik. Sebagaimana pemah aman Karl Marx mengenai kehidupan sosial budaya ditentukan dari pertentangan antara dua kelas yang terlibat dalam proses produksi, yaitu kaum ploretariat yang diandaikan hanya berhak melahirkan keturunan (Bungin, 2003:5)
Kendati demikian pandangan Ralf Dahrendrf terhadap pendekatan fungsionalisme, bahwa setiap masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang relatif kuat dan mantap. Tiap-tiap unsur itu berintegrasi satu sama lain dengan baik (Bungin, 2003:5).
Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Jadi individu mengkonstruksikannya dalam dunia realitas, serta memantapkan realitas itu berdasarkan subyektivitas individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2003:5).
Berger dan Luckmann (1990:1) selanjutnya menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman "kenyataan" dan "pengetahuan". Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam berbagai realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa berbagai realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik (Bungin, 2003:7).
Interpretasi subjektif yang berkembang pada pemakai narkoba sehubungan dengan interaksi yang terjadi dengan subkultur komunitas pemakai narkoba di satu pihak dan kondisi atau keadaan keluarga di lain pihak akan mengonstruksikan definisi diri. Proses definisi diri, merupakan tahapan perkembangan pemakai narkoba secara psikososial. Dalam prosesini mereka membangun otonomi, kemandirian, dan sebagai inti kelompok, dengan kesadaran batinnya untuk menjadi “aku”.
Berger dan Luckmann (1990:61) mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subyektif melalui proses interaksi. Obyektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya (Bungin, 2003:7).
Jadi sebenarnya yang dimaksudkan oleh Berger dan Luckmann (1990:61), telah terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Dialektika ini terjadi melalui proses eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi, yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat secara simultandengancara membentukpengetahuanmasyarakat(Bungin, 2003:6)
Menurut Berger dan Luckmann (1990:xx, Nugroho 1999:123), pengetahuan masyarakat yang dimaksud adalah realitas sosial masyarakat. Realitas sosial tersebut adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun syarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2003:6)
Gagasan konstruksi sosial selalu dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang melakukan interpretasi terhadap teks, wacana dan pengetahuan masyarakat. Gagasan ini dimulai oleh Derrida (1978) yang terkenal dengan gagasan-gagasan deconstruction. Gagasan ini kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) dan metode penafsiran (interpretation) atas realitas sosial (Bungin, 2003:7).
Sekian artikel tentang Pengertian dan Contoh Teori Konstruktivisme Menurut Para Ahli. Semoga bermanfaat.
DaftarPustaka
Konstruktivisme sebagai suatu pandangan yang lain terhadap dunia, seperti yang diungkapkan oleh Thomas Khun bahwa semesta secara epostimologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan/pandangan manusia dibentuk oleh kemampuan tubuh inderawi dan intelektual asumsi-asumsi kebudayaan dan bahasa tanpa kita sadari. Bahasa dan ilmu pengetahuan bukanlah cerminan semesta, melainkan bahasa membentuk semesta, bahwa setiap bahasa mengkonstruksi aspek-aspek tertentu dari semesta dengan caranya sendiri. Peter Dahlgren mengatakan realitas sosial setidaknya sebagian, adalah produksi manusia, hasil proses budaya, termasuk penggunaan bahasa.
Paradigma ini melihat komunikasi sebagai proses produksi dan pertukaran makna. Karakteristik penting dari pendekatan konstruktivisme ini adalah: Pertama, menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Kedua, memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang terus menerus dan dinamis. Pendekatan konstruktivisme memeriksa pembentukan bagaimana pesan ditampilkan, dan dalam sisi penerima, ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan (Crigler, 1996:8-9).
Asumsi dasar dari pemikiran konstruktivisme adalah: Pertama, suatu kejadian (realitas) tidak hadir dengan sendirinya secara objektif, tetapi diketahui atau dipahami melalui pengalaman. Kedua, realitas dipahami melalui kategori-kategori bahasa secara situasional yang tumbuh dari interaksi sosial di dalam suatu kelompok sosial pada saat dan tempat tertentu. Ketiga, bagaimana suatu realitas dapat dipahami, ditentukan oleh konvensi-konvensi komunikasi yang dilakukan pada saat itu. Keempat, pemahaman terhadap realitas yang tersusun secara sosial membentuk banyak aspek penting lain dari kehidupan (Sasa, 1994:325-326). Hal ini berarti ketika kita berpikir dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, pada dasarnya merupakan persoalan tentang bagaimana kita memahami realitas kita.
image source: cio.com |
Istilah konstruksi sosial atas realitas diperkenalkan oleh Berger dan Thomas Luckman dalam The SocialConstruction of Reality (1966). Mereka menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, di mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin.2001:10). Konstruktivisme dapat dibagi dalam tiga macam, yakni: Konstruktivisme radikal, konstruktivisme realisme hipotesis, dan konstruktivisme biasa.
Kaum konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran manusia. Mereka mengkesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan, dalam pandangan mere-ka tidak merefleksikan suatu realitas ontologis objektif, namun sebagai sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif. Karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan merupakan sarana terjadinya konstruksi itu.
Sedangkan dalam pandangan realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Berbeda pula dengan konstruktivisme biasa yang mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri. Institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semua dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi (Berger & Luckman, 1990: 61).
Menurut Berger dan Luckman (1990:1 dalam Bungin, 2001 :6) konstruksi sosial adalah pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas sosial menurut keduanya terbentuk secara sosial dan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan (sociology of knowlodge) untuk menganalisa bagaimana proses terjadinya.
Dalam hal ini pemahaman “realitas” dan “pengetahuan” dipisahkan. Mereka mengakui realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai “kualitas” yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar kemauan kita sebab fenomena tersebut tidak bisa ditiadakan, sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari.
Kenyataanya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran seseorang baik di dalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan realitas tersebut secara objektif.
Max Weber melihat realitas sosial sebagai perilaku sosial yang memiliki makna subyektif, karena itu pelaku memiliki tujuan dan motivasi. perilaku sosial itu menjadi "sosial", apabila yang dimaksud subyektif dari perilaku sosial itu membuat individu mengarahkan dan memperhitungkan kelakuan orang lain serta mengarahkannya kepada subyektif itu. Perilaku itu memiliki kepastian kalau menunjukkan keseragaman dengan perilaku pada umumnya dalam masyarakat (Bungin, 2003:5)
Kemudian, Durkheim mengatakan bahwa fakta sosial terdiri dari dua macam, yaitu fakta sosial yang berbentuk material, yaitu hal-hal atau benda yang dapat ditangkap secara indrawi, berupa benda di dalam dunia nyata. Kemudian fakta sosial yang non material, yaitu fakta yang tak tampak namun nyata ada di dunia intersubyektif masyarakat, seperti opini, egoisme dan altruisme (Bungin, 2003:4).
Berger dan Luckmann mengatakan bahwa realitas sosial terdiri dari tiga macam yaitu realitas subyektif, realitas obyektif dan realitas simbolik. Realitas obyektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia obyektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas obyektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subyektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas obyektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses intemalisasi (Bungin, 2003:5)
Konsep realitas sosial di atas, dibantah oleh pandangan teori konflik. Sebagaimana pemah aman Karl Marx mengenai kehidupan sosial budaya ditentukan dari pertentangan antara dua kelas yang terlibat dalam proses produksi, yaitu kaum ploretariat yang diandaikan hanya berhak melahirkan keturunan (Bungin, 2003:5)
Kendati demikian pandangan Ralf Dahrendrf terhadap pendekatan fungsionalisme, bahwa setiap masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang relatif kuat dan mantap. Tiap-tiap unsur itu berintegrasi satu sama lain dengan baik (Bungin, 2003:5).
Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Jadi individu mengkonstruksikannya dalam dunia realitas, serta memantapkan realitas itu berdasarkan subyektivitas individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2003:5).
Berger dan Luckmann (1990:1) selanjutnya menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman "kenyataan" dan "pengetahuan". Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam berbagai realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa berbagai realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik (Bungin, 2003:7).
Interpretasi subjektif yang berkembang pada pemakai narkoba sehubungan dengan interaksi yang terjadi dengan subkultur komunitas pemakai narkoba di satu pihak dan kondisi atau keadaan keluarga di lain pihak akan mengonstruksikan definisi diri. Proses definisi diri, merupakan tahapan perkembangan pemakai narkoba secara psikososial. Dalam prosesini mereka membangun otonomi, kemandirian, dan sebagai inti kelompok, dengan kesadaran batinnya untuk menjadi “aku”.
Berger dan Luckmann (1990:61) mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subyektif melalui proses interaksi. Obyektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya (Bungin, 2003:7).
Jadi sebenarnya yang dimaksudkan oleh Berger dan Luckmann (1990:61), telah terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Dialektika ini terjadi melalui proses eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi, yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat secara simultandengancara membentukpengetahuanmasyarakat(Bungin, 2003:6)
Menurut Berger dan Luckmann (1990:xx, Nugroho 1999:123), pengetahuan masyarakat yang dimaksud adalah realitas sosial masyarakat. Realitas sosial tersebut adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun syarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2003:6)
Gagasan konstruksi sosial selalu dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang melakukan interpretasi terhadap teks, wacana dan pengetahuan masyarakat. Gagasan ini dimulai oleh Derrida (1978) yang terkenal dengan gagasan-gagasan deconstruction. Gagasan ini kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) dan metode penafsiran (interpretation) atas realitas sosial (Bungin, 2003:7).
Sekian artikel tentang Pengertian dan Contoh Teori Konstruktivisme Menurut Para Ahli. Semoga bermanfaat.
DaftarPustaka
- Fisher, B. Aubrey, 1986, Teori-Teori Komunikasi, Penterj, Soejono Trimo, Remaja Karya, Bandung
- Kincaid, D. Lawrence & Wilbur Scramm. 1987. Asas-Asas Komunikasi Antar Manusia, Penterj Agus Stiadi, LP3ES-East west Communication Institute, Jakarta
- Little, John. Stephen W. 1983, Theories of Human Communication. Second Edition. Wadworth Publishing Company. California.
- Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung
- Stephenson, Howard, 1982, Handbook of communications, Book Company, Inc, Toranto
- Tubbs, Steward L.Moss Sylvia, 1996, Human Communication (Prinsip-Prinsip Dasar), Remaja Rosdakarya, Bandung