Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian dan Teori Interaksional Simbolik Menurut Para Ahli

Teori interaksionisme simbolik berinduk pada perspektif fenomenologis. Istilah fenomenologis, menurut Maurice Natanson dalam Mulyana (2001:59), merupakan satu istilah generik yang merujuk pada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subyektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Pada tahun 1950-an dan 1960-an perspektif fenomenologis mengalami kemunduran. Surutnya perspektif fenomenologis memberi kemungkinan bagi para ilmuwan untuk memunculkan teori baru dalam bidang ilmu sosial. Kemudian muncul teori interaksi simbolik yang mendapat tempat utama dan mengalami perkembangan pesat hingga saat ini.

Pengertian dan Teori Interaksional Simbolik Menurut Para Ahli - Teori interaksionisme simbolik sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu-ilmu social, khususnya komunikasi. Lebih dari itu, teori interaksionisme simbolik juga memberikan inspirasi bagi kecenderungan semakin menguatnya pendekatan kualitatif dalam studi komunikasi. Pengaruh itu terutama dalam hal cara pandang holisitik terhadap gejala komunikasi sebagai konsekuensi dari prinsip berpikir sistemik yang menjadi prinsip dari teori interaksionisme simbolik. Prinsip ini menempatkan komunikasi sebagai suatu proses menuju kondisi-kondisi interaksional yang bersifat konvergensif untuk mencapai pengertian bersama (mutual understanding) di antara para partisipan komunikasi.

Informasi dan pengertian bersama menjadi konsep kunci dalam pandangan konvergensif terhadap komunikasi (Rogers dan Kincaid, 1980: 56). Informasi dalam hubungan ini pada dasarnya berupa simbol atau lambang-lambang yang saling dipertukarkan oleh atau di antara para partisipan komunikasi.

Pengertian dan Teori Interaksional Simbolik Menurut Para Ahli_
image source: study.com
baca juga: Pengertian Piutang Dagang, Klasifikasi, Contoh Soal Piutang

Selanjutnya, teori interaksionisme simbolik memandang bahwa makna-makna (meanings) dicipta dan dilanggengkan melalui interaksi dalam kelompok-kelompok social. Interaksi social memberikan, melanggengkan, dan mengubah aneka konvensi, seperti peran, norma, aturan, dan makna-makna yang ada dalam suatu kelompok sosial.

Konvensi-konvensi yang ada pada gilirannya mendefinisikan realitas kebudayaan dari masyarakat itu sendiri. Bahasa dalam hubungan ini dipandang sebagai pengangkut realita (informasi) yang karenanya menduduki posisi sangat penting. Interaksionisme simbolik merupakan gerakan cara pandang terhadap komunikasi dan masyarakat yang pada intinya berpendirian bahwa struktur sosial dan makna-makna diciptakan dan dilanggengkan melalui interaksi sosial.

Barbara Ballis Lal dalam Littlejohn, (2002: 145) mengidentifikasi cara pandang interaksionisme simbolik sebagai berikut:

a. Orang mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan pemahaman subjektif tentang situasi yang dihadapi.

b. Kehidupan social lebih merupakan proses-proses interaksi daripada struktur-struktur yang karenanya senantiasa berubah.

c. Orang memahami pengalamannya melalui makna-makna yang ia ketahui dari kelompok-kelompok primer (primary groups), dan bahasa merupakan suatu hal yang esensial dalam kehidupan social.

d. Dunia ini terbangun atas objek-objek sosial yang disebut dengan sebutan tertentu dan menentukan makna-makna sosial.

e. Tindakan manusia didasarkan pada penafsiran di mana objek-objek yang relevan serta tindakan-tindakan tertentu diperhitungkan dan didefinisikan.

f. Kesadaran tentang diri sendiri seseorang (one’s self) merupakan suatu objek yang signifikan, dan seperti objek social lainnya, ia didefinisikan melalui interaksi social dengan orang lain.

Dari perspektif ini, komunikasi didefinisikan sebagai symbolic behavior which results in various degree of shared meanings and values between participants (perilaku simbolik yang menghasilkan saling berbagi makna dan nilai-nilai di antara partisipan dalam tingkat yang beragam) (Faules dan Alexander, 1978: 5).

Mead mengklaim bahwa bahasa memungkinkan kita untuk menjadi makhluk yang sadar diri (self conscious), yaitu sadar akan individualitas kita, dan unsur kunci dalam proses ini adalah simbol. Paham interaksionalisme simbolik membuat kita belajar untuk terus menerus memikirkan obyek secara simbolik. Pemikiran simbolik ini pada dasarnya akan membebaskan kita dari pembatasan pengalaman kita hanya atas apa yang betul-betul kita lihat, dengar atau rasakan.

Max Weber adalah orang yang turut berjasa besar dalam perkembangan teori interaksi simbolik, beliau mendefinisikan tindakan sosial sebagai sebuah perilaku manusia pada saat person memberikan suatu makna subyektif terhadap perilaku yang ada. Sebuah tindakan bermakna sosial manakala tindakan tersebut timbul dan berasal dari kesadaran subyektif dan mengandung makna intersubyektif, artinya terkait dengan orang di luar dirinya.

Komunikasi dalam perspektif interaksi simbolis menurut Mulyana (2001:61) digambarkan sebagai pembentukan makna (penafsiran atas pesan atau perilaku orang lain) oleh para peserta komunikasi. Beberapa konsep penting dalam perspektif interaksi simbolis adalah diri (self), diri yang lain (other), simbol, makna, penafsiran dan tindakan. Para peserta komunikasi bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, meramalkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.

Interaksionisme sombolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer (dalam Littlejohn 1983:45) memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionime simbolik. Masing - masing hal tersebut mengidentifikasikan sebuah konsep sentral tentang tradisi yang dimaksud sebagai berikut:

1. Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman. Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol.

2. Berbagai arti dipelajari melalui interaksi diantara orang-orang. Arti muncul dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial.

3. Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi diantara orang-orang.

4. Tingkah laku seseorang tidak mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja.

5. Pikiran terdiri dari sebuah percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.

6. Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi.

7. Kita tidak dapat memahami pengalaman seorang individu dengan mengamati tingkah laku belaka. Pemahaman dan pengertian seseorang akan berbagai hal harus diketahui secara pasti.

Penelitian yang berseting alamiah seperti kehidupan dan interaksi di masyarakat sejatinya akan lebih sempurna bila ditelaaah dalam perspektif berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinankan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka seperti yang diungkapakan oleh Howard S. Becker et al. Tahun 1961 (dalam Mulyana 2001 : 70).

Perilaku simbolik dalam perspektif ini dimakasudkan untuk memberikan kesan bagi khalayak mitra interaksinya. Adapun subjektifitas dari perilaku yang ditampilkan inilah sebagai wujud dari penghargaan terhadap sisi kemanusiaan dari tiap orang. Orang-orang yang berinteraksi diberikan kebebasan dalam menilai dan berperilaku. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya, atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka.

Tidak mengherankan bila frase-frase “definisi situasi”, “realitas terletak pada mata yang melihat,” dan “bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil, situasi terebut riil dalam konsekuensinya” sering dihubungkan dengan interaksionisme simbolik. Penafisiran terhadap suatu perilaku simbolik yang ditampilkan tergantung dari persepsi masing-masing individu. Begitupun dengan berbagai perilaku yang ditampilakan baik secara spontan maupun perilaku yang direncanakan tergantung dari tujuan yang ingin dicapai dalam interaksi tersebut. Dan satu hal yang tidak mungkin dipungkiri adalah kemampuan untuk memanipulasi simbol-simbol tersebut untuk suatu tujuan tertentu.

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol”. Penganut Interaksionisme simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia disekeliling mereka. Perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada. (Jones dalam Mulyana 2001 : 71). Perbedaan persepsi dari masing-masing individu yang sama-sama memperoleh stimuli dapat terjadi dalam suatu interaksi. Kebebasan individu untuk menginterprestasikan situasi yang ada menjadikan penelitian yang berbasis pada perspektif interaksionisme simbolik ini mengagungkan subjektivitas atas orang-orang yang saling berinteraksi.

Interaksionisme simbolik sering dikelompokkan ke dalam dua aliran yaitu aliran Chicago yang dimotori oleh Herbert Blumer yang melanjutkan tradisi humanistis yang talah dirintis oleh George Herbert serta aliran lowa yang diprakarsai oleh Manford Kuhn. Perbedaan pandangan yang mendasar antara Blumer dan Kuhn bersifat metodologis, Blumer menjelaskan bahwa meneliti perilaku manusia merupakan metode yang tidak bisa digeneralisasikan sementara Kuhn menekankan kesatuan metode ilmiah, semua medan ilmiah, termasuk sosiologi harus bertujuan pada generalisasi dan pembentukan hukum.

Meskipun Blumer dan Kuhn sepakat mengenai, setidaknya satu hal dari tema interaksionisme simbolik, yaitu apa yang berlangsung di dalam benak manusia. Mereka tidak sepakat mengenai bagaimana hal itu harus diteliti. Blumer cenderung menggunakan introspeksi simpatetik dengan tujuan untuk masuk ke dalam dunia cakrawala pelaku dan memandangnya sebagaimana pelaku melakukannya. Sementara Kuhn tertarik dengan fenomena empiris yang sama namun dia mendorong para sosiolog untuk menolak teknik-teknik yang tidak ilmiah dan sebagai gantinya menggunakan indikator-indikator perilaku yang tampak untuk mengetahui apa yang sedang berlangsung dalam benak para pelaku.

George Herbert Mead secara umum dipandang sebagai pelopor utama pergerakan interaksionis. Tiga konsep penting dalam teori Mead adalah masyarakat, pribadi dan pikiran. Masyarakat adalah sebuah gabungan tingkah laku kooperatif dari individu-individu yang terdiri dari suatun jaringan interaksi sosial dimana para partisipannya memberikan arti kepada aksi-aksi mereka sendiri maupun orang lain dengan menggunakan simbo-simbol. Hubungan saling mempengaruhi antara responsi terhadap orang lain dan terhadap diri sendiri adalah konsep penting Mead, yang juga merupakan sebuah transisi yang baik menuju konsep kedua yaitu- pribadi. Dalam bentuk yang paling sederhana, sebuah tindakan sosial melibatkan tindakan awal seorang individu, reaksi terhadap tindakan tersebut dan hasil dari tindakannya itu.

Keterkaitan bisa saja meresap, meluas dan berhubungan dalam jaringan yang rumit. Para pelaku yang berada pada lokasi yang berjauhan pada akhirnya bisa saja dihubungkan dengan berbagai cara. Apabila teknologi komunikasi yang semakin canggih dewasa ini tidak lagi membatasi ruang dan waktu bagi orang-orang untuk saling berinteraksi.

Ada beberapa prinsip dasar yang terkandung dalam teori ini.

1. Kemampuan Untuk Berpikir

Asumsi penting bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berpikir membedakan interaksionisme simbolik dari akarnya behaviorisme. Asumsi ini juga memberikan dasar yang kuat bagi orientasi teoritis kepada interaksionisme simbolik. Pendukung-pendukung teori ini menyatakan bahwa asumsi tentang kemampuan manusia untuk berpikir merupakan salah satu sumbangan terbesar dari pencetus-pencetus awal teori ini seperti James, Dewey, Thomas, Cooley, dan tentu saja Mead. Menurut mereka, individu-individu di dalam masyarakat tidak dilihat sebagai makhluk-makhluk yang dimotivasi oleh faktor-faktor dari luar yang berada di luar kontrol mereka dalam bertindak. Sebaliknya, mereka melihat manusia sebagai makhluk yang reflektif dan karena itu bisa bertingkah-laku secara reflektif.

Kemampuan untuk berpikir itu berada dalam akal budi tetapi interaksionisme simbolik memahami akal budi secara lain. Mereka membedakan akal budi dari otak. Manusia harus memiliki otak supaya ia bisa mengembangkan akal budinya tetapi otak tidak otomatis menciptakan akal budi sebab binatang mempunyai otak tetapi tidak bisa berpikir. Interaksionisme simbolik juga tidak melihat akal budi sebagai benda atau struktur fisis melainkan suatu proses yang berkesinambungan. Proses itu adalah bagian dari proses yang lebih luas aksi dan reaksi. Akal budi berhubungan erat dengan konsep-konsep lain di dalam interaksionisme simbolik termasuk sosialisasi, arti, simbol, interaksi dan masyarakat.

2. Berpikir dan Berinteraksi

Orang yang memiliki hanya kemampuan untuk berpikir yang bersifat umum. Kemampuan ini mesti dibentuk dalam proses interaksi sosial. Pandangan ini menghantar interaksionisme simbolik untuk memperhatikan satu bentuk khusus dari interaksi sosial, yakni sosialisasi. Kemampuan manusia untuk berpikir sudah dibentuk dalam sosialisasi pada masa anak-anak dan berkembang selama sosialisasi ketika orang jadi dewasa. Pandangan interaksionisme simbolik tentang proses sosialisasi sedikit berbeda dari pandangan teori-teori lainnya. Bagi teori-teori lainnya, sosialisasi dilihat sebagai proses di mana individu mempelajari hal-hal yang ada di dalam masyarakat supaya mereka bisa bertahan hidup di dalam masyarakat. Tetapi bagi interaksionisme simbolik, sosialisasi adalah proses yang bersifat dinamis. Di dalam proses itu, manusia tidak Cuma menerima informasi melainkan dia menginterpretasi dan menyesuaikan informasi itu sesuai dengan kebutuhannya.

Tentu saja interaksionisme simbolik tidak Cuma tertarik pada sosialisasi saja melainkan pada interaksi pada umumnya. Interaksi adalah suatu proses di mana kemampuan untuk berpikir dikembangkan dan diungkapkan. Segala macam interaksi menyaring kemampuan kita untuk berpikir. Lebih dari itu berpikir mempengaruhi seseorang dalam bertingkah laku. Dalam kebanyakan tingkah laku seorang aktor harus memperhitungkan orang lain dan memutuskan bagaimana harus bertingkah laku supaya cocok dengan orang-orang lain. Namun demikian tidak semua interaksi melibatkan proses berpikir. Mereka membedakan dua macam interaksi, yakni interaksi non-simbolik yang tidak melibatkan proses berpikir dan interaksi simbolik yang melibatkan proses berpikir.

Pentingnya proses berpikir bagi interaksionisme simbolik nampak dalam pandangan mereka tentang obyek. Blumer, misalnya, membedakan tiga macam obyek, yakni obyek fisis seperti kursi atau buku, obyek sosial seperti mahasiswa atau ibu, dan obyek abstrak seperti ide-ide atau prinsip-prinsip moral. Obyek-obyek tidak lebih dari benda-benda yang berada di luar sana tetapi mereka mempunyai arti penting ketika mereka didefinisikan oleh aktor. Karena itu setiap obyek mempunyai arti yang berbeda-beda untuk setiap aktor. Sebatang pohon mempunyai arti yang berbeda untuk seorang seniman, petani, religius, atau tukang kayu.

Individu-individu mempelajari arti-arti dari obyek-obyek itu selama proses sosialisasi. Kebanyakan kita mempelajari arti yang sama dari obyek-obyek itu tetapi dalam hal tertentu kita bisa memberikan arti yang berbeda kepada obyek yang sama. Namun hal itu tidak berarti bahwa interaksionisme simbolik menyangkal atau tidak mengakui essensi dari obyek itu. Kayu adalah tetap kayu dalam artinya biasa. Perbedaannya hanya terletak dalam cara pandang yang berbeda.

3. Pembelajaran Makna Simbol-Simbol

Pendukung teori ini mengikuti Herbert Mead dalam menekankan pentingnya interaksi sosial. Menurut mereka, arti tidak berasal proses kegiatan mental melainkan dari proses interaksi. Pendapat seperti ini berasal dari pragmatisme Mead yang memusatkan perhatiannya pada aksi dan interaksi manusia dan bukannya pada kegiatan mental yang terisolir. Karena itu salah satu isu pokok untuk mereka ialah bukan bagaimana orang secara psikologis menciptakan arti-arti melainkan bagaimana mereka mempelajari arti-arti dalam interaksi pada umumnya dan dalam sosialisasi pada khususnya.

Dalam interaksi sosial, orang belajar simbol-simbol dan arti-arti. Kalau orang memberikan reaksi terhadap tanda-tanda tanpa berpikir panjang maka dalam memberikan reaksi kepada simbol-simbol, orang harus terlebih dahulu berpikir. Tanda mempunyai arti yang di dalam diri mereka sendiri. Misalnya, gerak-gerik dari anjing yang marah adalah tanda bahwa ia marah. Sedangkan simbol adalah obyek sosial yang digunakan untuk mewakili (take a place) apa saja yang disepakati untuk diwakilinya. Misalnya, bendera merah putih melambangkan merah adalah berani dan putih adalah suci. Tidak semua obyek sosial mempunyai arti yang lain dari pada apa yang ada dalam dirinya. Tetapi obyek-obyek yang merupakan simbol selalu mempunyai arti yang lain dari pada yang tampak di dalam obyek itu sendiri. Orang menggunakan simbol-simbol untuk mengkomunikasikan sesuatu tentang diri mereka.

Pendukung teori interaksionisme simbolik menganggap bahasa sebagai sistem simbol yang mahabesar. Kata-kata adalah simbol karena mereka menunjuk kepada sesuatu yang lain. Kata-kata memungkinkan terciptanya simbol-simbol yang lain. Perbuatan, obyek-obyek, dan kata-kata yang lain bisa ada dan mempunyai arti hanya karena mereka telah atau bisa dilukiskan melalui penggunaan kata-kata.

Simbol-simbol menjadi penting karena memungkinkan manusia untuk bertindak secara sungguh-sungguh manusiawi. Oleh karena simbol-simbol, manusia tidak mmberikan reaksi secara pasif kepada kenyataan yang dialaminya melainkan memberi arti kepadanya dan bertindak seturut arti yang diberikannya itu. Disamping kegunaan yang besifat umum ini, simbol-simbol pada umumnya dan bahasa pada khususnya mempunyai sejumlah fungsi, antara lain:

a. Simbol-simbol memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan dunia material dan sosiali dengan membolehkan mereka memberi nama, membuat kategori, dan mengingat obyek-obyek yang mereka temukan dimana saja. Dalam hal ini bahasa mempunyai peran yang sangat penting.

b. Simbol-simbol menyempurnakan kemapuan manusia untuk memahami lingkungannya.

c. Simbol-simbol menyempurnakan kemampuan manusia untuk berpikir. Dalam arti ini, berpikir dapat dianggap sebagai interaksi simbolik dengan diri sendiri.

d. Simbol-simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk memecahkan persoalan. Binatang coba memecahkan persoalan dengan trial dan error sedangkan manusia bisa berpikir dengan menggunakan simbol-simbol sebelum melakukan pilihan-pilihan dalam melakukan sesuatu.

e. Penggunaan simbol-simbol memungkinkan manusia bertransedensi dari segi waktu, tempat, dan bahkan diri mereka sendiri. Dengan menggunakan simbol-simbol manusia bisa membayangkan bagaimana hidup di masa lampau atau akan datang. Mereka juga bisa membayangkan diri mereka sendiri berdasarkan pandangan orang lain (taking the role of the other).

f. Simbol-simbol memungkinkan manusia untuk bisa membayangkan kenyataan-kenyataan metafisis seperti surga atau neraka.

g. Simbol-simbol memungkinkan manusia tidak diperbudak oleh lingkungannya. Mereka bisa lebih aktif ketimbang pasif dalam mengarahkan dirinya kepada sesuatu yang mereka perbuat.

4. Aksi dan Interaksi

Perhatian utama dari interaksionisme simbolik adalah dampak dari arti-arti dan simbol-simbol dalam aksi dan interaksi manusia. Dalam hal ini, mungkin baik kalau kita menggunakan pembedaan yang dibuat oleh Mead tentang covert behavior atau tingkah laku yang tersembunyi dan overt behavior atau tingkah laku yang terbuka atua terang-terangan. Covert behavior adalah proses berpikir yang melibatkan arti dan simbol-simbol. Sedangkan overt behavior adalah tingkah laku aktual yang dilakukan oelh seorang aktor. Ada beberapa overt behavior yang tidak selalu melibatkan convert behavior. Artinya ada tingkah laku yang tidak didahului proses berpikir . Convert behavior menjadi pokok perhatian dari interaksionisme simbolik sedangkan overt behavior menjadi pokok perhatian dari teori pertukaran.

Arti dan simbol-simbol memberikan aksi dan interaksi sosial suatu kekhasan. Tindakan sosial atau aksi pada dasarnya adalah suatu tindakan di mana seseorang bertindak dengan selalu mempertimbangkan orang lain di dalam pikirannya. Dengan kata lain, dalam bertindak manusia selalu mengukur dampak atau impaknya untuk orang lain yang terlibat dalam tindakan itu. Sekalipun ada manusia yang bertindak tanpa berpikir namun manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan tindakan sosial, yakni tindakan yang terarah atau yang mempunyai tujuan tertentu.

Dalam proses interaksi sosial, manusia mengkomunikasikan arti-arti kepada orang-orang lain melalui simbol-simbol. Kemudian orang-orang lain menginterpretasi simbol-simbol itu dan mengarahkan tingkah laku mreka berdasarkan interpretasi mereka. Dengan kata lain, dalam interaksi sosial, aktor-aktor terlibat dalam proses saling mempengaruhi.

5. Membuat Pilihan-Pilihan

Oleh karena kemampuan untuk mengerti arti dan simbol-simbol maka manusia bisa melakukan pilihan terhadap tindakan-tindakan yang diambil. Manusia tidak perlu menerima begitu saja arti-arti dan simbol yang dipaksakan kepada mereka. Sebaliknya mereka bisa bertindak berdasarkan interpretasi yang mereka buat sendiri terhadap situasi itu. Dengan kata lain, manusia mempunyai kemampuan untuk memberikan arti baru kepada situasi itu.

W.I Thomas benar ketika menekankan pentingnya kemampuan kreatif manusia melalui konsepnya tentang definisi situasi. “If men define situasions as real, they are real in their consequences” Thomas and Thomas, 1928 dalam Riyadi (2002:31). Thomas menyadari bahwa kebanyakan definisi situasi yang kita buat didasarkan pada definisi situasi yang sudah diberikan oleh masyarakat. Hal itu terutama ditekankannya untuk menyinggung definisi situasi yang diberikan oleh institusi keluarga dan masyarakat yang begitu kuat. Namun, Thomas juga yakin akan kemampuan manusia untuk memberikan definisi situasi yang spontan yang memunkinkan manusia bisa memilih dan memodifikasi arti dan simbol yang ada.

Kita juga bisa mengatakan bahwa bagi interaksionisme simbolik, aktor paling tidak memiliki otonomi. Dia tidak begitu saja dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Mereka mampu melakukan pilihan-pilihan yang bebas dan unik. Lebih dari itu, mereka juga mampu mengembangkan suatu kehidupan yang mempunyai keunikan dan gayanya sendiri.

6. Diri atau Self

Self adalah konsep yang teramat penting bagi interaksionisme simbolik. Guna memahami konsep ini lebih dari apa yang dimaksudkan oleh Mead, kita harus terlebih dahulu memahami ide looking glass self yang dikembangkan oleh Charles Horton Cooley. Apa yang dimaksudkan dengan looking glass self oleh Cooley adalah bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk melihat diri sendiri sebagai halnya kita melihat obyek sosial lainnya. Ide tentang looking glass self ini dapat dipecah-pecahkan ke dalam tiga komponen, yakni: pertama, kita membayangkan bagaimana kita menampakkan diri kepada orang-orang lain; kedua, kita membayangkan bagaimana penilaian mereka terhadap penampilan kita; ketiga, bagaimana kita mengembangkan semacam perasaan tertentu sebagai akibat dari bayangan kita tentang penilaian orang lain itu.

Konsep Cooley tentang looking glass self dan konsep Mead tentang self adalah sangat penting dalam perkembangan konsep interaksionisme simbolik modern tentang self. Blumer mengartikan self secara sangat sederhana. Menurut dia, self semata-mata berarti bahwa manusia bisa menjadi obyek dari tindakannya sendiri. Dia berbuat sesuatu terhadap dirinya sendiri dan mengarahkan dirinya dalam tindakan tertentu. Self memungkinkan manusia bisa berbuat sesuatu dan bukan Cuma bereaksi tehadap rangsangan atau stimuli yang berasal dari luar. Sebuah karya yang cukup kaya tentang self nampak dalam karya Erving Goffman.

7. Kelompok-Kelompok dan Masyarakat

Interaksionisme simbolik pada umumya sangat kritis terhadap tendensi perspektif sosiologis lainnya yang memusatkan perhatiannya pada sttruktur yang bersifat makro. Herbert Blumer adalah orang yang berada paling depan dalam sikap kritis terhadap determinisme sosiologis di mana tindakan sosial manusia semata-mata dipengaruhi oleh struktur sosial. Dalam pandangan mereka aktor bukannya mendefinisikan situasi sebelum mereka bertindak melainkan dia hanya ikut saja kekuatan-kekuatan eksternal yang memaksanya untuk bertindak. Manusia dalam pandangan perspektif-perspektif tradisional itu tidak lebih dari pada semacam robot.

Hal itu sangat berbeda dengan pandangan interaksionisme simbolik sebagaimana dijelaskan oleh Blumer. Menurut Blumer, masyarakat tidak terbuat dari struktur-struktur yang bersifat makro. Esensi dari masyarakat harus ditemukan di dalam aktor-aktor dan tindakannya. Dia berkata: “Masyarakat manusia harus dilihat sebagai terdiri dari orang-orang yang sedang bertindak dan kehidupan masyarakat harus dilihat sebagai terdiri dari tindakn-tindakan mereka” (Blumer, 19769:85). Masyarakat manusia adalah tindakan. Kehidupan kelompok adalah keseluruhan tindakan yang sedang berlangsung. Namun demikian masyarakat tidak dibuat dari tindakan yang terisolasi. Di sana ada tindakan yang bersifat kolektif yang melibatkan individu-individu yang menyesuaikan tindakan mereka terhadap satu sama lain. Dengan kata lain, mereka saling mempengaruhi dalam melakukan tindakan. Mead menyebut hal ini sebagai social act (perbuatan sosial) dan Blumer menyebutnya join action (tindakan bersama).

Blumer tetap mengakui eksistensi dari struktur-struktur sosial yang bersifat makro. Tetapi dalam pandangannya struktur-struktur seperti itu mempunyai pengaruh yang sangat terbatas di dalam interaksionisme simbolik.

Blumer sering berpendapat bahwa struktur-struktur yang bersifat makro itu tidak lebih dari pada semacam kerangka kerja di dalamnya aspek-aspek penting dari kehidupan sosial, aksi, dan interaksi terjadi. Struktur-struktur makro memang menetapkan kondisi-kondisi dan batasan-batasan terhadap tingkah laku manusia tetapi ia tidak menentukan tingkah laku itu. Struktur-struktur yang bersifat makro menjadi penting sejauh mereka menyiapkan simbol-simbol yang berguna bagi aktor untuk bertindak. Struktur-struktur tidak punya arti kalau aktor-aktor tidak memberikan arti kepadanya. Sebuah organisasi tidak secara otomatis berfungsi karena dia memiliki struktur atau aturan-aturan melainkan karena aktor-aktor di dalamnya berbuat sesuatu dan perbuatan itu merupakan hasil dari definisi situasi yang mereka buat.

Sekian artikel mengenai Pengertian dan Teori Interaksional Simbolik Menurut Para Ahli. Semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka

  • Blumer, Herbert, 1966, Sociological Implications of The Thougt of George Herbert Mead, The American Journal of Sociology. Vol. 71
  • _ _ _ _, 1969, Simbolic Interactionism : Perspective and Method, Prentice Hall. New Jersey
  • Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Remaja Rosdakarya, Bandung 2000
  • Devito, Joseph A, 1977, Komunikasi Antar Manusia : Kuliah Dasar, Edisi V, Penterj, Agus Maulana, Profesional Books, Jakarta.
  • Fisher, B. Aubrey, 1986, Teori-Teori Komunikasi, Penterj, Soejono Trimo, Remaja Karya, Bandung
  • Horton, Paul, B. dan Chester L. Hunt, 1989. Sosiologi, Alih Bahasa Aminudin Ram dan Tita Sobari, Erlangga, Bandung.
  • Kincaid, D. Lawrence & Wilbur Scramm. 1987. Asas-Asas Komunikasi Antar Manusia, Penterj Agus Stiadi, LP3ES-East west Communication Institute, Jakarta
  • Little, John. Stephen W. 1983, Theories of Human Communication. Second Edition. Wadworth Publishing Company. California.
  • Meltzer, Bernard and J. Manis (ed)., 1972, Symbolic Interaction. Allyn and Bacon, Boston.
  • Stephen W. Littlejohn Karen A. Foss, (Editors) Encyclopedia of Communication Theory, university of New Mexico SAGE Publications, Inc.2455 Teller Road Thousand Oaks, California 91320
  • Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung
  • Stephenson, Howard, 1982, Handbook of communications, Book Company, Inc, Toranto 
  • Tubbs, Steward L.Moss Sylvia, 1996, Human Communication (Prinsip-Prinsip Dasar), Remaja Rosdakarya, Bandung
Nikita Dini
Nikita Dini Blogger, Internet Marketer, Web Designer