Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemanfaatan Abu Tandan Kelapa Sawit Pada Pembuatan Biodiesel

Pemanfaatan AbuTandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai Katalis Basa Pada Reaksi Transesterifikasi Dalam Pembuatan Biodiesel - Kebutuhan minyak bumi yang semakin besar merupakan tantangan yang perlu diantisipasi dengan pencarian alternatif sumber energi. Minyak bumi merupakan sumber energi yang tak terbarukan, butuh waktu jutaan bahkan ratusan juta tahun untuk mengkonversi bahan baku minyak bumi menjadi minyak bumi, peningkatan jumlah konsumsi minyak bumi menyebabkan menipisnya jumlah minyak bumi. Dari berbagai produk olahan minyak bumi yang digunakan sebagai bahan bakar, yang paling banyak digunakan adalah bahan bakar diesel, karena kebanyakan alat transportasi, alat pertanian, peralatan berat dan penggerak generator pembangkit listrik menggunakan bahan bakar tersebut.

Biodiesel merupakan salah satu solusi dari berbagai masalah tersebut. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif pengganti minyak diesel yang diproduksi dari minyak tumbuhan atau lemak hewan. Penggunaan biodiesel dapat dicampur dengan petroleum diesel (solar) (anonim, 2003). Biodiesel mudah digunakan, bersifat biodegradable, tidak beracun, dan bebas dari sulfur dan senyawa aromatik. Selain itu biodiesel mempunyai nilai flash point (titik nyala) yang lebih tinggi dari petroleum diesel sehingga lebih aman jika disimpan dan digunakan.

Pemanfaatan Abu Tandan Kelapa Sawit Pada Pembuatan Biodiesel_
image source: extremebiodiesel.com
baca juga: Pemanfaatan Lahan Pasir Pantai Untuk Budi Daya Buah Naga

Penggunaan minyak kelapa sawit atau minyak nabati lainnya sebagai bahan bakar diesel menimbulkan suatu masalah karena tingginya viskositas yang dapat menyebabkan kerusakan pada mesin. Untuk mengatasinya dapat dilakukan pereaksian minyak dengan alkohol berantai pendek dengan bantuan katalis, proses ini dikenal dengan reaksi transesterifikasi atau alkoholisis. Reaksi transesterifikasi dengan katalis basa biasanya menggunakan logam alkali alkoksida, NaOH, KOH, dan NaHCO3 sebagai katalis. Katalis basa ini lebih efektif dibandingkan katalis asam, konversi hasil yang diperoleh lebih banyak, waktu yang dibutuhkan juga lebih singkat serta dapat dilakukan pada temperatur kamar (Juwita, 2005). Logam dari basa terekstraksi ke dalam alkohol yang kemudian bereaksi dengan alkohol membentuk alkoksida yang bersifat nukleofilik, alkoksida akan menyerang gugus karbonil. Reaksi ini diikuti tahap eliminasi yang menghasilkan ester dan alkohol baru. Secara umum reksi transesterifikasi minyak dengan alkohol dapat dituliskan pada gambar 1.

Penggunaan katalis ini dapat diganti dengan menggunakan abu tandan kosong kelapa sawit, hasil pembakaran tandan kosong kelapa sawit yang berupa abu ternyata memiliki kandungan kalium yang cukup tinggi sebesar 30-40% sebagai K2O. Abu tandan ternyata memiliki komposisi 30-40% K2O, 7% P2O5, 9% CaO, 3% MgO dan unsur logam lainnya (Fauzi, 2005). Dengan melarutkan sejumlah tertentu abu ke dalam sejumlah tertentu alkohol (metanol atau etanol), logam kalium akan terekstraksi ke dalam alkohol dan diharapkan akan bereaksi lebih lanjut membentuk garam metoksida jika menggunakan metanol atau garam etoksida jika menggunakan etanol. Garam inilah yang akan membantu mempercepat proses reaksi transesterifikasi minyak nabati.

Telah diketahui, bahwa pengolahan kelapa sawit selain menghasilkan CPO (Crude Palm Oil) juga menghasilkan produk-produk samping dan limbah, yang bila tidak diperlakukan dengan benar akan berdampak negatif terhadap lingkungan. Satu ton tandan buah segar kelapa sawit mengandung 230–250 kg tandan kosong kelapa sawit (TKKS), 130-150 kg serat, 65-65 kg cangkang dan 55-60 kg biji dan 160-200 kg minyak mentah (Fauzi, 2005). Penggunaan tandan kosong kelapa sawit selama ini adalah sebagai substrat dalam budidaya jamur, bahan bakar boiler, dan dibakar untuk dimanfaatkan abunya.

Pembuatan biodiesel dari minyak kelapa sawit dengan katalis abu tandan kosongnya, diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan, di antaranya meningkatkan nilai jual minyak kelapa sawit ketika produk kelapa sawit membanjir di pasaran, menambah khazanah penelitian bahan bakar alternatif, juga mengoptimalkan penggunaan kelapa sawit tidak hanya produk minyak tetapi juga limbah yang dihasilkan industri tersebut.

Gambar 1. Reaksi transesterifikasi molekul minyak

METODE

Preparasi Abu Tandan Kosong Kelapa Sawit

Abu TKKS digerus dengan dengan mortar dan disaring dengan penyaring mesh 100. Selanjutnya abu dikeringkan dalam oven pada temperatur 110°C selama 2 jam. Karakterisasi abu TKKS dilakukan dengan uji AAS dan titrasi indikator.

Proses Pembuatan biodiesel

Sejumlah tertentu abu tandan kosong kelapa sawit direndam dalam 75 mL metanol teknis dari Brataco Chemika (BM = 32,04 g mol-1) selama ± 48 jam pada temperatur kamar. Ekstrak yang diperoleh dicukupkan volumenya sehingga diperoleh rasio mol metanol/minyak tertentu yang akan digunakan untuk melakukan reaksi transesterifikasi terhadap 250 g minyak goreng curah (dengan asumsi bahwa minyak goreng curah merupakan minyak kelapa sawit dengan BM = 704 g mol-1).

Reaksi transesterifikasi dilakukan pada labu leher tiga kapasitas 500 mL, yang dilengkapi dengan pemanas listrik, termometer, pengaduk magnet, dan sistem pendingin, refluks dilakukan pada temperatur kamar. Ditimbang 250 g minyak goreng curah dan dituang dalam labu leher tiga, kemudian dirangkai dengan sistem pendingin. Sejumlah tertentu larutan metanol yang telah dipersiapkan dituang ke dalam labu leher tiga tersebut, dan pengaduk magnet dihidupkan. Waktu reaksi dicatat sejak pengaduk magnet dihidupkan.

Setelah reaksi berjalan 2 jam, pengadukan dihentikan, campuran yang terbentuk dituang dalam corong pemisah, dibiarkan terjadi pemisahan selama 2 jam pada temperatur kamar. Lapisan metil ester yang terbentuk dipisahkan dari lapisan gliserol, selanjutnya didistilasi sampai temperatur 74°C untuk menghilangkan sisa metanol. Untuk menghilangkan sisa katalis dan gliserol dalam metil ester dilakukan pencucian dengan menggunakan air berulang kali, sampai diperoleh lapisan air yang jernih. Kemudian metil ester dikeringkan dengan penambahan Na2SO4 anhidrat p.a (E.Merck).

Prosedur proses transesterifikasi di atas dilakukan dengan variasi berat abu (rasio mol metanol minyak 6 : 1, waktu reaksi 2 jam, temperatur kamar, dan kecepatan pengadukan dijaga konstan), variasi rasio mol metanol/minyak (berat abu terpilih, waktu reaksi 2 jam, temperatur kamar, dan kecepatan pengadukan dijaga konstan), dan variasi temperatur (berat abu terpilih, waktu reaksi 2 jam, rasio metanol/minyak terpilih, dan kecepatan pengadukan dijaga konstan).

Analisis Biodiesel

Lapisan metil ester yang telah dimurnikan ditimbang, sehingga dapat diketahui persentase hasil, dengan rumus sebagai berikut.



Keterangan:
  • WP = berat produk yang diperoleh, g, dan
  • WB = berat bahan baku, g.

Komposisi metil ester yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan GC-MS (Shimadzu QP-5000) jenis pengionan EI (Electron Impact).

Untuk menetapkan kesesuaian biodiesel yang dihasilkan sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak solar, dilakukan analisis dengan beberapa metode-metode uji ASTM (ASTM D 1298, ASTM D 97, ASTM D 2500, ASTM D 93, ASTM D 445, dan ASTM D 482) (Laboratorium Penguji Produksi Pusdiklat Migas)

HASIL

Berdasarkan analisis kadar logam total dalam abu tandan kosong sawit (TKKS) dengan AAS, logam kalium merupakan kandungan logam terbesar yang terdapat dalam abu TKKS sebesar 196,63 g/kg berat abu. Dengan temperatur pengabuan yang kurang dari 900 °C dimungkinkan kalium tersebut sebagai kalium karbonat. Kalium karbonat mempunyai kelarutan dalam metanol sebesar 16,500 ppm (Anonim, 2006).

Untuk masing-masing berat abu (5; 10; 15; 20; dan 25 g) yang diekstrak dengan metanol, jumlah kalium yang terekstrak dapat ditampilkan seperti pada Tabel 1.

Untuk memastikan kalium yang terdapat pada abu TKKS berada dalam bentuk senyawa kalium karbonat (K2CO3), dapat diketahui melalui uji alkalinitas dengan metode titrasi indikator. Berdasarkan hasil data pengujian dapat diambil kesimpulan bahwa anion karbonat (CO3=) merupakan anion yang paling dominan yang terdapat pada abu TKKS dengan kadar sebesar 196,63 g/kg berat abu. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa kalium yang terdapat dalam abu TKKS berada dalam bentuk persenyawaan K2CO3 .

Tabel 1. Kadar kalium dalam ekstrak abu TKKS dengan 75 mL metanol teknis

Tabel 2. Specific gravity biodiesel hasil transesterifikasi dengan variasi berat abu

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa biodiesel hasil transesterifikasi dengan menggunakan katalis abu tandan kosong kelapa sawit sebanyak 10 gram memberikan specific gravity yang paling tinggi diantara abu dengan berat 15, 20, dan 25 g. Pada sistem dengan berat abu sebesar 5 g, biodiesel tidak terbentuk dalam waktu reaksi selama 2 jam karena jumlah kalium yang terekstraksi untuk 5 g berat abu TKKS terlalu sedikit, sehingga katalis tersebut belum efektif digunakan sebagai katalis dalam reaksi transesterifikasi. Pengukuran Specific gravity menggunakan alat uji standar ASTM D 1298.

Pengaruh rasio mol metanol-minyak terhadap konversi hasil metil ester diamati dengan memvariasi rasio mol metanol-minyak 3:1, 6:1, 9:1 dan 12:1. Rekasi seluruhnya dilakukan pada kondisi tetap yaitu katalis sebesar 15 g per 75 mL metanol, selanjutnya direfluks pada temperatur kamar. Konversi biodiesel dihitung dengan persamaan (1) sehingga diperoleh hasil seperti disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Rasio minyak-metanol dengan konversi biodiesel

Analisis dengan menggunakan GC dan GC-MS bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen yang terdapat dalam biodiesel serta mengetahui kuantitas masing-masing komponen tersebut. Persentase dari komponen biodiesel hasil konversi dari minyak kelapa sawit disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Komponen biodiesel hasil transesterifikasi dengan variasi mol reaktan

Data karakteristik produk biodiesel selengkapnya disajikan pada Tabel 3. karakteristik biodiesel diuji dengan alat-alat uji standar ASTM D 1298 untuk berat jenis, ASTM D 97 untuk titik tuang, ASTM D 2500 untuk titik kabut, ASTM D93 untuk titik nyala, ASTM D 445 untuk viskositas kinematis, dan ASTM D 482 untuk kandungan abu.

Tabel 4. Sifat-sifat fisik biodiesel

PEMBAHASAN


Secara stoikhiometri 1 mol alkohol bereaksi dengan 3 mol trigliserida, tetapi untuk menggeser reaksi kearah produk, digunakan pereaksi yang berlebih, dalam hal ini alkohol dibuat berlebih. Sesuai dengan hukum kesetimbangan kimia, jika reaktan yang berada disebelah kiri panah reaksi ditambah kuantitasnya, maka kesetimbangan akan bergeser kearah produk yang berada di sebelah kanan panah reaksi, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, ketika reaktan ditambah, maka produk akan terbentuk hingga terjadi kesetimbangan antara produk dan reaktan, begitu juga ketika produk yang terbentuk diambil, maka reaktan akan terkonversi menjadi produk hingga terjadi kesetimbangan.

Dari Gambar 2 dapat dilihat pada rasio mol metanol-minyak kelapa sawit sebesar 9:1 memberikan hasil konversi biodiesel yang paling besar yaitu sebesar 84,12%. Peningkatan rasio mol pereaksi diikuti dengan meningkatnya konversi metil ester yang dihasilkan sampai optimum pada rasio mol 9:1, kemudian terjadi penurunan konversi metil ester pada perbandingan mol reaktan 12:1. Konversi metil ester yang dihasilkan pada rasio mol 3:1 paling rendah (66,8%) disebabkan oleh terjadinya reaksi penyabunan terhadap hasil ester yang terbentuk. Hal yang sama terjadi paada rasio mol 6:1 meskipun sabun yang terbentuk lebih sedikit. Reaksi penyabunan/saponifikasi ini disebabkan oleh adanya air.

Meskipun keberadaan air tak dapat dihindari, ternyata pada rasio mol 9:1 dan 12:1 tidak terbentuk padatan sabun. Penggunaan metanol yang berlebihan semakin memperlambat laju hidrolisis (penyabunan) terhadap ester karena metanol dalam bentuk ion metoksida berekasi cepat dengan trigliserida menghasilkan metil ester. Akan tetapi pada rasio mol 9:1 dan 12:1 terbentuk semacan emulsi yang agak sulit dipisahkan dalam campuran metil ester. Hal ini disebabkan metanol yang berlebihan melarutkan gliserol yang konsentrasinya semakin meningkat. Emulsi yang terbentuk pada rasio mol 12:1 lebih sulit dipisahkan daripada rasio mol 9:1. Dengan demikian penambahan rasio mol metanol-minyak cenderung menyebabkan emulsi dalam campuran metil ester sekaligus menyulitkan pengambilan kembali gliserol yang larut dalam metanol. Emulsi akan hilang dengan pendiaman beberapa lama (2-3 hari) serta melalui penyaringan.

Penurunan konversi pada rasio 12:1 kemungkinan juga disebabkan oleh metanol yang berlebihan larut dalam gliserol yang terbentuk. Akibatnya metanol yang bereaksi dengan trigliserida untuk membentuk metil ester semakin berkurang. Selain itu dengan adanya peningkatan hasil ester dan gliserol yang terus terbentuk selama reaksi berlangsung mengakibatkan reaksi dapat berbalik arah membentuk senyawa antara seperti monogliserida. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Krisnangkura dan Simamaharrnnop dalam Encinar et al. (2002) bahwa keberadaan gliserol dapat menyebabkan kesetimbangan kembali bergeser ke arah kiri (reaktan) sehingga mengurangi hasil ester. Peningkatan konversi metil ester seiring penambahan mol metanol juga berkaitan dengan distribusi katalis antara lapisan ester dan lapisan gliserol. Pada transesterifikasi minyak kelapa dengan rasio mol 3:1 dimungkinkan katalis lebih tertarik ke lapisan gliserol sebagaimana yang dinyatakan oleh Junek dan Mittel (dalam Encinar et al, 2002) bahwa untuk rasio molar metanol/minyak 3:1, katalis lebih tertarik ke lapisan gliserin. Oleh karenanya katalis tidak cukup tersedia pada lapisan ester, yang menyebabkan reaksi transesterifikasi tidak berjalan sempurna. Dengan kata lain tidak seluruh trigliserida bereaksi membentuk metil ester. Selanjutnya menurut Junek dan Mittel, metanol yang berlebihan mengakibatkan distribusi katalis semakin merata di kedua lapisan ester dan gliserol. Dengan didasari oleh pernyataan tersebut maka pada eksperimen ini ditunjukkan bawa penggunaan metanol berlebih yang menyebabkan distribusi katalis semakin merata pada lapisan ester dan lapisan gliserol ternyata diikuti oleh peningkatan konversi metil ester sampai batasan optimun pada rasio mol metanol-minyak 9:1.

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa metil palmitat merupakan komponen utama penyusun biodiesel dengan persentase paling besar, karena asam palmitat pada trigliserida (minyak) kelapa sawit merupakan komponen terbesar, pada konversi biodiesel dari perbandingan 9:1 diperoleh metil palmitat sebesar 46,79%, kemudian diikuti dengan metil laurat sebagai komponen kedua terbanyak sebesar 18,25% dan sisanya adalah metil ester yang berasal dari asam-asam lemak lain penyusun minyak kelapa sawit, yaitu metil kaprilat, metil kaprat, metil miristat, metil oleat dan metil stearat.

Untuk mengetahui kualitas biodiesel yang dihasilkan maka dapat diketahui dari data pengujian karakteristik biodiesel seperti yang tercantum dalam tabel 4. Penambahan mol metanol dalam reaksi transesterifikasi minyak kelapa sawit disertai dengan penurunan viskositas, dari viskositas minyak murni sekitar 30 cSt turun menjadi 3,063 cSt untuk biodiesel dengan perbandingan reaktan 9:1. Penambahan mol metanol menyebabkan biodiesel yang dihasilkan semakin murni karena semakin banyak jumlah trigliserida yang terkonversi menjadi metil ester. Campuran metil ester masih dimungkinkan mengandung trigliserida yang tidak bereaksi, sisa minyak atau senyawa hidrokarbon rantai panjang. Dari keempat variasi, hanya biodiesel dengan rasio mol pereaksi 3:1 dengan viskositas yang tidak masuk spesifikasi karena masih melampaui batas maksimum yang diijinkan, dan biodiesel dengan rasio mol 6:1 berada sedikit di atas nilai viskositas yang telah ditentukan.

Titik tuang berkaitan erat dengan viskositas karena semakin rendah viskositas maka semakin mudah biodiesel untuk mengalir pada kondisi tertentu. Nilai titik tuang biodiesel semuanya masuk spesifikasi karena masih di bawah 65°C. Nilai titik tuang biodiesel 9:1 dan 12:1 adalah sama karena keduanya memiliki viskositas yang hampir sama. Karakter fisik biodiesel lain yang diamati adalah berat jenis (spesific gravity) pada 60/60 °F. Berat jenis biodiesel naik dari rasio mol 3:1 ke 6:1 dan kemudian turun sampai rasio mol 12:1. Karakter titik nyala biodiesel seluruhnya masuk spesifikasi bahan bakar diesel standar nilai rata-rata di atas 65.5 °F. Karakter ini mempengaruhi keamanan bahan bakar untuk disimpan pada kondisi temperatur tertentu. Semakin tinggi nilai titik nyala, maka bahan bakar semakin aman untuk disimpan pada kondisi temperatur yang relatif rendah. Titik nyala biodiesel yang dihasilkan cukup baik yaitu di atas 100 °C.

Karakter sisa karbon Conradson dari seluruh biodiesel yang dihasilkan cukup baik karena masih di bawah batas maksimum bahan bakar diesel sebesar 0,1. Karakter ini berhubungan dengan parameter kebersihan biodiesel, yaitu kecenderungan untuk meninggalkan deposit karbon pada mesin setelah pembakara. Biodiesel memilik karakter sisa karbon yang rendah, sehingga dapat dikatakan bahwa pembakaran biodiesel cukup sempurna tanpa banyak meninggalkan residu berupa arang/karbon yang dapat mengganggu operasi mesin diesel.

Berbeda dengan karakter fisik biodiesel lainnya, kadar abu dari biodiesel yang dihasilkan ternyata tidak memenuhi spesifikasi bahan bakar diesel standar. Kadar abu yang tinggi pada biodiesel ini dapat disebabkan oleh adanya kotoran- kotoran yang memang sejak awal telah terkandung dalam minyak kelapa sawit. Kadar abu yang tinggi dapat mengganggu operasi mesin diesel.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis logam-logam dengan AAS dalam abu TKKS, logam kalium merupakan komponen terbesar (29,8 % massa). Logam kalium dalam abu TKKS dimungkinkan berada dalam bentuk senyawa karbonat. Hal ini dibuktikan dengan uji alkalinitas terhadap abu TKKS. Dengan sifat basa yang dimiliki kalium karbonat maka abu TKKS mempunyai potensi untuk digunakan sebagai sumber katalis basa dalam pembuatan biodiesel. Penambahan rasio mol metanol terhadap minyak (3:1, 6:1, 9:1 dan 12:1) meningkatkan konversi Biodiesel. Besarnya konversi tersebut adalah rasio mol 3:1 = 66,8% ; 6:1 = 70,36% ; 9:1 = 84,12% dan 12:1 = 75,58%. Reaksi dengan rasio mol metanol- minyak 9:1 merupakan kondisi optimun dalam pembuatan biodiesel karena menghasilkan konversi biodiesel tertinggi dan memiliki karakter fisik yang paling sesuai dengan spesifikasi bahan bakar diesel standar.

Sekian artikel tentang Pemanfaatan AbuTandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai Katalis Basa Pada Reaksi Transesterifikasi Dalam PembuatanBiodiesel. Semoga bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA
  • Anonim, 2006, Potassium Carbonate Handbook, http://www.armandroducts.com, 13 Februari 2006.
  • Anonim, 2003, National Biodiesel board, website, www.biodiesel.org
  • Encinar, J. M., Gonzales, J.F., Rodriguez, J.J., Tejedor, A., 2002, Biodiesel Fuels from Vegetable Oils : Transesterefication of Cynara cardunlus L. Oils with Ethanol, Energy & Fuels. J.A.C.S.,16
Nikita Dini
Nikita Dini Blogger, Internet Marketer, Web Designer